img_head

Equality Before The Law

Okt05

Konten : artikel Hukum
Telah dibaca : 3.395 Kali


Oleh: Wahyu Iswantoro, S.H. (Hakim PN Wamena, Papua)

Perubahan politik setelah Tahun 1200 SM di Yunani terjadi karena negara tersebut mengalami krisis kedaulatan. Para filsuf mulai berani mengekspresikan, seni retorika, logika, hukum, dan penalaran intelektual diruang publik. Dalam masyarakat seperti itu nilai moral dan hukum menjadi konstrasi utama masyarakat manakala kebijakan penguasa cenderung menguntungkan penguasa dan sebaliknya merugikan atau menyiksa rakyat biasa. Oleh karena itu, kaum filsuf Yunani kala itu terus menerus berusaha membawa gagasan kesetaraan atau persamaan di depan hukum menjadi isu krusial dalam pemerintahan dan penegakkan hukum. Lambat laun prinsip tersebut dikenal dengan asas equality before the law.

Seiring dengan berjalanya waktu, perkembangan prinsip atau asas equality before the law semakin meluas dan diilhami secara universal oleh negara-negara besar. Pada tahun 1900 Masehi di Eropa Barat asas equality before the law mulai banyak dikaji oleh parah ahli hukum meskipun dipengaruhi oleh konvergensi antara positivisme dalam ilmu alam dengan tatanan sosial kapitalisme. Bahkan, dalam Amandemen ke 14 Konstitusi Amerika Serikat (The Fourteenth Amendment of the U.S. Constitution) telah mengatur ketentuan yang menyebutkan bahwa “states that all people will have "the equal protection of the laws" yang artinya “bahwa semua orang akan memunyai perlindungan hukum yang sama”.

Dewasa ini, instrumen Internasional juga telah mengatur azas equality before the law secara komperhensif. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, kemudian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 26 ICCPR sebagaimana diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Intemasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang pada intinya mengakui hak setiap orang atas persamaan di depan hukum. Indonesia sendiri dalam Konstitusinya mengaturnya kedalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa, "Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Selanjutnya, Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".

Lengkapnya instrumen hukum yang menjamin asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law ternyata berbanding terbalik dengan realita implementasinya dilapangan. Masyarakat masih sering menganggap bahwa asas equality before the law hanya sebatas mitos belaka, karena penegakkan hukum di Indonesia masih dipandang tumpul keatas namun tajam kebawah. Dengan kata lain, Penguasa atau orang berpengaruh cenderung sulit untuk tersentuh oleh hukum, dan sekalipun tersentuh hukum mereka cenderung mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan perlakuan yang diterima oleh masyarakat biasa.

Anggapan tersebut di atas tidaklah sepenuhnya salah, akan tetapi juga tidak selamanya dianggap benar. Sebab, jika berbicara mengenai penegakkan hukum, khususnya dalam ranah pemeriksaan perkara dipersidangan pengadilan, asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law telah perlahan berhasil diwujudkan oleh Mahkamah Agung (“MA”) Republik Indonesia. MA dan badan peradilan dibawahnya telah berhasil menggagas berbagai inovasi dalam upaya modernisasi dan digitalisasi layanan administrasi pendaftaran perkara dan juga proses persidangan di pengadilan, salah satunya dengan hadirnya aplikasi Peradilan Elektronik (E-Court dan E-Litigation).

Penggunaan teknologi informasi dalam setiap lini layanan peradilan, secara tidak langsung akan mewujudkan prinsip persamaan atau kesetaraan pelayanan bagi siapapun pengguna layanan pengadilan maupun pencari keadilannya. Hakim atau aparatur peradilan tidak akan memiliki peluang untuk bermain-main atau mencoba memberikan perlakuan khusus bagi pihak-pihak yang memiliki pengaruh atau kekuasaan, sebab semua proses dan tahapan pemeriksaan perkara dilakukan secara aktual, transparan, dan dibatasi jangka waktu yang pasti. Hal tersebut sejalan dengan amanat Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) yang menegaskan “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda- bedakan orang”.

Disisi lain, teknologi informasi yang diimplementasikan dalam aplikasi peradilan elektronik akan memberikan kemudahan cara berpekara atau bersidang dipengadilan, selain itu prosesnya menjadi lebih sederhana dan biayanya pun sudah pasti menjadi ringan/murah. Sebab, pengeluaran-pengeluaran yang berhubungan dengan biaya relaas pemanggilan dan pemberitahuan putusan sudah tidak diperlukan lagi dengan hadirnya fitur domisili elektronik (email) maupun fitur digital signature dalam pengiriman salinan putusan. Dengan demikian, amanat Pasal 4 ayat (2) UU Kehakiman yang menegaskan tugas badan peradilan untuk mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan (constant justitie) dapat diwujudkan. (WI)

Sumber: Majalah Mahkamah Agung RI Edisi XXVI/2021 Halaman 99-100