Stare Decisis atau Legal Uniformity?
Oleh: Wahyu Iswantoro, S.H.
(Hakim Pengadilan Negeri Wamena, Papua Pegunungan)
Dalam sistem peradilan di negara penganut sistem Common Law (Anglo-American Legal System) seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Selandia Baru dapat kita jumpai sebuah Doktrin Precedent yang Mengikat (The Doctrine of Binding Precedent) hal itu mengajarkan bahwa hakim terikat pada putusan-putusan terdahulu yang dibuat oleh hakim yang sama atau yang lebih tinggi tingkatannya dalam susunan suatu lembaga peradilan. Hal itu bermakna bahwa ketika hakim mengadili suatu kasus, maka hakim tersebut akan memeriksa apakah permasalahan yang sama telah diputus oleh hakim atau pengadilan sebelumnya.
The Doctrine of Binding Precedent juga dikenal dengan istilah dalam bahasa Latin dengan sebutan Stare Decisis yang dalam Black’s Law Dictionary Fourth Edition (1968), didefinisikan sebagai, “to abide by, or adhere to, decided cases” yaitu sebuah prinsip yang mengharuskan hakim untuk mengikuti putusan hakim di pengadilan yang lebih tinggi, di mana sebuah kasus tersebut melibatkan fakta dan isu serupa. Oleh sebab itu, istilah stare decisis kemudian selaras dengan doktrin precedent (yang dalam sistem peradilan Indonesia lebih dikenal dengan Yurisprudensi). Adapaun kelebihan dari The Doctrine of Binding Precedent atau Stare Decisis adalah memberikan dampak positif berupa hukum yang dapat diperkirakan (predictable) sehingga dapat mewujudkan suatu keajekan, keteraturan, kepastian dan keadilan dalam tradisi sistem peradilan common law tersebut.
Disisi lain, Indonesia sebagai negara penganut warisan sistem Civil Law (Continental Europe Legal System) dari Negara Belanda memang tidak secara tegas memerintahkan para hakimnya untuk mengikuti dan menganut doktrin stare decisis, akan tetapi dalam praktik dan perkembangannya dilapangan, apabila seorang hakim menangani perkara-perkara yang yang mirip atau serupa dengan yang pernah ditangani oleh hakim terdahulu dan atau dalam putusan terdahulu yang dirujuknya telah menjadi yurisprudensi tetap, maka hakim tersebut cenderung akan menggunakan yurisprudensi sebagai sumber hukum dalam pertimbangan putusannya tersebut demi menjaga kesatuan hukum dan menghindari disparitas putusan.
Lebih dari itu, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir Mahkamah Agung Republik Indonesia memang lebih gencar dalam menyuarakan isu menjaga kesatuan hukum dengan menempatkan Yurisprudensi sebagai instrumen penjaga kesatuan hukum serta memberlakukan sistem kamar dengan berdasar pada Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung yang kemudian menjadi payung hukum pertama penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung. Pada dasarnya hal tersebut memang telah sesuai dengan kebijakan strategis Mahkamah Agung dalam mewujudkan visinya untuk terus berupaya mewujudkan pembaruan fungsi teknis badan peradilan sesuai Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 dengan merevitalisasi fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dalam rangka menjaga kesatuan hukum.
Kemudian yang menjadi pertanyaan kita bersama, apakah sebenarnya telah terjadi pergeseran paradigma dalam sistem peradilan kita atau hal tersebut memang menjadi kebutuhan seiring dengan kemajuan jaman dan tuntutan pembaruan hukum di Indonesia? Patut diketahui, bahwa sebenarnya bukan hanya Indonesia yang seolah-oleh mulai menerima dan menerapkan doktrin Stare Decisis dengan cara mengimplementasikan Yurisprudensi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Rapat Kamar Mahkamah Agung, akan tetapi sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum, ajaran doktrin Stare Decisis tersebut sebenarnya juga sudah diterima dan mulai dijalankan juga sejak beberapa dekade lalu di Negara Belanda dan Prancis sebagai penganut civil law system. Namun demikian, di Negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental tersebut konsep stare decisis lebih dikenal dengan istilah “legal uniformity” (kesatuan hukum).
Fakta menunjukkan, bahwa dewasa ini memang pada praktiknya Indonesia lebih cenderung menggunakan istilah kesatuan hukum (legal uniformity) sebagaimana tertuang dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 maupun dalam berbagai SEMA, baik SEMA tentang Pengumpulan Yurisprudensi maupun SEMA tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Rapat Kamar Mahkamah Agung mulai dari 2012 sampai dengan 2022. Lebih dari itu, sebagaimana disampaikan oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., dalam Pembinaan Teknis dan Administrasi Peradilan di Makassar tanggal 6 Juli 2023, dikatakan bahwa sebagai petunjuk teknis Implementasi SEMA tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Rapat Kamar Mahkamah Agung telah mencapai angka 90,18% sehingga tergolong tinggi. Hal tersebut menunjukkan bukti bahwa SEMA rumusan pleno kamar yang telah diterbitkan oleh Mahkamah Agung selama ini telah umum digunakan atau diterapkan oleh hakim pada pengadilan tingkat pertama dalam penanganan perkara.
Pada akhirnya, yang lebih penting sebenarnya bukan perdebatan terkait isu pergeseran sistem hukum maupun penyebutan konsep atau doktrin stare decisis maupun legal uniformity, akan tetapi lebih jauh dari pada itu yang paling utama adalah bagaimana tujuan dari konsep atau doktrin tersebut mampu diimplementasikan dengan sebaik-baiknya guna mewujudkan keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keteraturan hukum. Sehingga keberadaan Yurisprudensi dan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Rapat Kamar Mahkamah Agung selain sebagai sumber hukum juga harus dimaknai lebih luas lagi sebagai panduan (guidelines) atau petunjuk teknis bagi para hakim dalam menangani perkara dan juga untuk menjaga kesatuan hukum (legal uniformity) serta upaya menekan disparitas putusan. (*WI)
Dimuat di Majalah Mahkamah Agung RI Edisi XXXII Tahun 2023