Judicial Restraint
Oleh: Wahyu Iswantoro, S.H.
(Hakim Pengadilan Negeri Wamena, Papua Pegunungan)
Dalam sebuah kondisi tertentu, pendekatan konsep judicial activism memang sangat diperlukan sebagai bentuk keaktifan hakim dalam menggunakan metode penemuan hukum dan interpretasi hukum untuk menjawab isu-isu hukum konkrit yang dalam hukum positif belum diatur atau telah ada aturanya tetapi sudah tidak sesuai jika diterapkan lagi dalam masa sekarang, sehingga melalui pertimbangan hukum dalam putusannya, hakim dapat memberikan nilai-nilai keadilan dan perlindungan terhadap hak azasi manusia.
Namun demikian, keaktifan hakim tersebut dalam kondisi atau kasus tertentu juga harus dibatasi/dikekang agar jangan sampai dalam menyusun suatu pertimbangan hukum guna menjatuhkan suatu putusan, hakim justru melewati batas-batas yang ditentukan oleh konstitusi maupun peraturan perundangan-undangan, atau dengan kata lain hakim dengan fungsi yudisialnya malah justru masuk keranah pembentuk undang-undang (positive legislator). Istilah ini kemudian dikenal dengan “Judicial Restraint” yang dalam Bahasa Indonesia kemudian diartikan oleh Penulis sebagai “pembatasan atau pengekangan hakim/pengadilan”.
Konsep pembatasan atau pengekangan hakim/pengadilan (judicial restraint) pertama kali diperkenalkan oleh James B. Thayer dalam tulisannya “The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law” (1893). Konsep ini menggunakan pendekatan dengan menempatkan hakim/pengadilan agar membatasi atau menahan diri dalam membuat kebijakan yang menjadi ranah kewenangan legislator, eksekutif, dan pembentuk peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam praktiknya, judicial restraint memang lebih sering dijumpai dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”) yang dipertegas dengan penjelasan bahwa dalam menjalankan kewenangan menguji Undang-undang terhadap UUD NRI 1945 berperan sebagai negative legislator, namun dalam perkembangannya seringkali MK dalam putusannya justru merumuskan kaedah norma hukum baru ataupun masuk kedalam ranah opened legal policy yang menjadi kewenangan legislatif, maka dari itulah judicial restraint kemudian mengemuka dan perlu juga diterapkan sebagai antitesa dari judicial activism.
Lantas kemudian, apakah perlu juga judicial restraint diterapkan pada Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya sebagai lembaga Yudikatif tertua di indonesia? Akan sangat sulit tentunya untuk menjawab pertanyaan tersebut secara objektif, sebab harus dipastikan dahulu apakah dalam peraturan/kebijakan (PERMA/SEMA) ataupaun dalam putusan-putusan Mahkamah Agung terdapat praktik judicial activism yang melewati batas-batas atau koridor yang ditentukan dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan. Hal tersebut tentu harus dikaji secara akademik dan objektif, agar keaktifan hakim yang sudah digagas melalui putusan pengadilan guna menghadirkan nilai-nilai keadilan bagi para pencari keadilan menjadi tidak sia-sia.
Disisi lain, akan menjadi suatu kerugian juga jika konsep judicial restraint diterapkan secara ketat pada Mahkamah Agung, sebab nilai keadilan yang tidak selalu terwujud dalam setiap teks peraturan perundang-undangan yang dihasilkan dari produk legislatif dan eksekutif malah justru akan terdelusi dan tidak terwujud manakala hakim menjadi terkekang dan tidak bebas melakukan keaktifannya untuk membuat suatu interpretasi dan penemuan hukum dalam menjatuhkan suatu putusan.
Terakhir, perlu juga dipahami bahwa esensi dasar dari lahirnya doktrin judicial restraint adalah menempatkan posisi hakim/pengadilan agar dapat melakukan pengekangan diri dari kecenderungan ataupun dorongan untuk bertindak layaknya sebuah mini parliament, sehingga tidak akan terjadi benturan kepentingan antar pemegang kekuasaan. Selain itu, yang paling penting juga adalah dalam tahap implementasinya antara judicial restraint dan judicial activism tidak bisa disamakan penerapannya untuk setiap kasus karena masing-masing kasus tentu memiliki cirikhas dan persoalan yang berbeda-beda. Dengan demikian, tidak dapat dikatakan konsep mana yang lebih baik atau yang lebih tinggi, sebab masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. -WI-
Dimuat di Majalah Mahkamah Agung RI Edisi XXXIII Tahun 2023