
Gerry Geovant Supranata Kaban-Hakim PN Wamena
Latar Belakang
Rechterlijk pardon atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “pemaafan hakim” merupakan suatu konsep di mana terdakwa terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, tetapi karena ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian, hakim tidak menjatuhkan pidana atau tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Konsep ini sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum pidana di Indonesia, namun pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Nasional”), konsep ini menjadi relevan untuk diterapkan kemudian karena telah diatur secara normatif dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional yang diadaptasi dari Pasal 9a KUHP Belanda yang berbunyi: “The judge may determine in the judgment that no punishment or measure shall be imposed, where he deems his advisable, by reason of the lack of gravity of the offense, the character of the offender, or the circumstances attendant upon the commission of the offense or thereafter.”
Latar belakang dirancangnya konsep rechterlijk pardon menurut Nico Keizer adalah karena banyaknya terdakwa yang sebenarnya telah memenuhi unsur-unsur pembuktian, namun jika dijatuhkan suatu pemidanaan terhadap dirinya maka pidana tersebut dianggap bertentangan dengan rasa keadilan sehingga timbul suatu benturan antara kepastian hukum dan keadilan hukum. Sehingga, pada hakikatnya rechterlijk pardon merupakan pedoman pemidanaan yang dilatarbelakangi oleh ide fleksibilitas untuk menghindari kekakuan yang berfungsi sebagai suatu katup/klep pengaman (veiligheidsklep) atau pintu darurat (noodeur) .
Meskipun memiliki potensi untuk mewujudkan keadilan yang lebih kontekstual dan humanis, implementasi konsep rechterlijk pardon tidak terlepas dari berbagai pertanyaan mendasar mulai dari sudut pandang filosofis tentang bagaimana konsep ini beririsan dengan tujuan pemidanaan yang meliputi pembalasan (retributif), pencegahan (relatif), dan perbaikan (rehabilitatif), serta isu hukum terkait kerentanan terhadap subjektivitas dan potensi penyalahgunaan jika tidak diiringi dengan kerangka kebijakan dan pedoman implementasi yang jelas.
Kompleksitas isu hukum mengenai rechterlijk pardon memerlukan penelitian lebih lanjut, di mana penelitian ini bertujuan untuk menjawab 2 (dua) permasalahan pokok: Pertama, bagaimana implikasi penerapan konsep rechterlijk pardon dalam sudut pandang filosofis? Kedua, bagaimana kerangka kebijakan dan pedoman implementasi rechterlijk pardon yang akuntabel dan transparan dapat dikembangkan guna memastikan penerapannya efektif dalam sistem pemidanaan di Indonesia? Penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan menganalisis secara elaboratif mengenai perubahan tujuan pemidanaan secara filosofis akibat penerapan konsep rechterlijk pardon, serta menganalisis kerangka kebijakan dan pedoman implementasi konsep rechterlijk pardon agar dapat diterapkan secara efektif di Indonesia.
Implikasi Penerapan Konsep Rechterlijk Pardon dalam Sudut Pandang Filosofis
Dari sudut pandang positivisme hukum yang menekankan pada aspek kepastian dan penerapan hukum secara letterlijk, konsep rechterlijk pardon dapat dianggap problematik karena positivisme hukum berpandangan bahwa hukum seharusnya dibentuk untuk memberikan aturan yang jelas, tidak ambigu, dan memiliki konsekuensi yang pasti bagi pelanggaran yang penerapannya sesuai dengan prinsip similia similibus. Pemberian pemaafan oleh hakim berpotensi mengaburkan aspek kepastian ini dan menciptakan ketidaksetaraan di hadapan hukum (inequality before the law). Akan tetapi, dari sudut pandang filsafat hukum yang lebih berorientasi pada keadilan secara substansial, konsep rechterlijk pardon dapat dipandang sebagai suatu mekanisme korektif yang penting. Hukum positif, meskipun berusaha untuk sempurna, namun ia tidak selalu mampu mengakomodasi setiap kasus dengan adil. Ada kalanya penerapan hukuman secara kaku dengan mengedepankan aspek normatif justru bertentangan dengan rasa keadilan dan tujuan hukum yang lebih tinggi yakni pemulihan atau reintegrasi sosial. Dalam hal seperti ini, konsep rechterlijk pardon dapat menjadi instrumen hukum untuk mencapai penyelesaian perkara yang lebih adil dan proporsional.
Penerapan konsep rechterlijk pardon juga bersinggungan dengan berbagai teori tentang tujuan pemidanaan secara klasik, yaitu teori pembalasan (retributif), pencegahan (relatif), maupun perbaikan (rehabilitatif). Jika tujuan utama pemidanaan adalah pembalasan, maka konsep rechterlijk pardon dapat dianggap sebagai pengingkaran terhadap keadilan bagi korban. Lalu, jika tujuan pemidanaan lebih berorientasi pada pencegahan, maka konsep rechterlijk pardon berpotensi menimbulkan kekeliruan cara pandang masyarakat dengan menganggap bahwa perbuatan pidana dapat ditoleransi atau tidak selalu berujung pada hukuman yang berdampak pada berkurangnya efek jera pidana. Namun, jika tujuan pemidanaan adalah untuk perbaikan, maka konsep rechterlijk pardon menjadi relevan untuk diterapkan apabila hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah menunjukkan rasa penyesalan yang mendalam, memiliki potensi untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang baik, dan menganggap bahwa penjatuhan pidana justru dapat merusak proses rehabilitasi yang sedang berjalan.
Selain tujuan pemidanaan yang telah disebutkan di atas, dengan perkembangan sistem pemidanaan, saat ini dikenal pula teori keadilan restoratif (restorative justice) sebagai tujuan pemidanaan yang berfokus pada penyelarasan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban terdakwa. Konsep rechterlijk pardon dan teori keadilan restoratif memiliki relevansi yang signifikan dalam upaya modernisasi sistem peradilan pidana dari aspek retributif ke arah yang lebih holistik dan berorientasi pada pemulihan demi mencapai keadilan substansial. Keadilan restoratif berfungsi sebagai sarana pemulihan keadaan dan kerugian korban, serta pemberdayaan terhadap mereka melalui penguatan hak, kebutuhan, dan kepentingan korban. Sementara itu, rechterlijk pardon dapat menjadi mekanisme untuk tidak menjatuhkan hukuman jika proses pemulihan tersebut telah berjalan dengan baik atau jika hukuman yang dijatuhkan malahan bersifat kontraproduktif, sehingga tujuan filosofis dari asas ultimum remidium yang memiliki makna bahwa “hukum pidana hendaknya dijadikan sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum” dapat terwujud dengan baik.
Kerangka Kebijakan dan Pedoman Implementasi Konsep Rechterlijk Pardon di Indonesia
Jika hakim memiliki diskresi untuk tidak menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang dinilai telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana tanpa adanya suatu formulasi pemidanaan yang jelas, dikhawatirkan akan muncul isu subjektivitas dan potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu kerangka kebijakan dan pedoman implementasi dari konsep rechterlijk pardon agar efektif untuk diterapkan di Indonesia.
Dalam hal kerangka kebijakan, konsep rechterlijk pardon telah diatur secara normatif dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional yang berbunyi: “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.” Pada bagian Penjelasan pasal a quo, disebutkan bahwa ketentuan tersebut memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya “ringan” dan dengan ketentuan bahwa pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim serta terdakwa tetap harus dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Selain dalam KUHP Nasional, konsep rechterlijk pardon juga dapat dilihat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“RKUHAP”) yang sedang dalam proses legislasi oleh lembaga legislatif, namun hanya dibahas dalam Bab I tentang Ketentuan Umum yang didefinisikan sebagai “Putusan Pemaafan Hakim”.
Hal demikian membuat konsep rechterlijke pardon masih terlalu abstrak, sehingga diperlukan adanya suatu pedoman implementasi dari konsep rechterlijke pardon itu sendiri guna memastikan penerapannya efektif dalam sistem pemidanaan di Indonesia dengan berpegang pada prinsip keadilan restoratif. Beberapa hal yang dapat diatur dalam pedoman implementasi tersebut antara lain: Pertama, kriteria perkara apa saja yang dapat diterapkan konsep rechterlijk pardon, karena tindak pidana yang sifatnya “ringan” sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional tidak memiliki definisi yang jelas dan tegas sehingga menimbulkan ambiguitas dan kekaburan norma (vague norm). Kedua, kriteria pelaku yang bagaimana yang berhak untuk diberikan pemaafan hakim, apakah hanya terbatas pada pelaku dengan usia dan keadaan tertentu (misal: hanya untuk pelaku dewasa atau pelaku yang mengalami disabilitas), atau terbatas pada pelaku yang tidak pernah melakukan tindak pidana sebelumnya, dan lain sebagainya. Ketiga, keadaan (pada waktu dilakukan tindak pidana) seperti apa saja yang dianggap layak untuk dapat diberlakukan rechterlijk pardon, apakah hanya terbatas pada keadaan yang menimbulkan unsur paksaan, atau keadaan untuk melindungi diri atau orang lain, dan lain sebagainya. Keempat, keadaan (yang terjadi kemudian) seperti apa saja yang dianggap layak untuk dapat diberlakukan rechterlijk pardon, apakah hanya terbatas pada keadaan di mana telah terjadinya perdamaian antara pelaku dengan korban, atau keadaan di mana pelaku telah mengganti kerugian korban, atau pelaku bekerja sama dan kooperatif dalam mengungkap tindak pidana secara keseluruhan, dan lain sebagainya.
Dengan adanya indikator atau parameter yang jelas dalam bentuk kerangka kebijakan dan pedoman implementasi konsep rechterlijk pardon, diharapkan dapat terciptanya kepastian hukum, konsistensi dalam penerapan, hingga meminimalisir potensi diskriminasi dan penyalahgunaan wewenang dalam proses pemberian pemaafan oleh hakim demi memastikan efektivitas dan legitimasi penerapan konsep rechterlijk pardon di Indonesia.
Penutup
Pasca pemberlakuan KUHP Nasional, konsep rechterlijk pardon membawa implikasi yang signifikan terhadap pembaruan sistem pemidanaan di Indonesia yang secara filosofis mengubah arah tujuan pemidanaan. Dengan adanya kerangka kebijakan dan pedoman implementasi konsep rechterlijk pardon di Indonesia, diharapkan dapat terwujudnya asas hukum pidana sebagai ultimum remidium yaitu hukum pidana dijadikan sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum yang berorientasi pada mekanisme korektif demi terciptanya keadilan substansial.
Referensi
[1] Adery Ardhan Saputro, “Konsepsi Rechterlijk Pardon Atau Pemaafan Hakim Dalam Rancangan KUHP,” Mimbar Hukum, vol. 28, no. 1, 2016.
[2] Syarif Saddam Rivanie et al., “Perkembangan Teori-Teori Tujuan Pemidanaan” 6 (2022): 176–88, https://holrev.uho.ac.id.
[3] Gerry Geovant et al., “Legitimacy of Immediate Executable Judgment (Uitvoerbaar Bij Voorraad) in Small Claims Court,” International Journal of Educational Review, Law And Social Sciences (IJERLAS Journal) | ISSN 5, no. 2 (2025): 2808–487, https://doi.org/10.54443/ijerlas.v5i2.2702.
[4] Robi Assadul Bahri, “Penafsiran Asas Judicial Pardon Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru,” Jurnal Mahalisan, vol. 1, no. 1, 2024.