img_head

Eksistensi Putusan Serta Merta dalam Perkara Gugatan Sederhana

Agu13

Konten : artikel Hukum
Telah dibaca : 39 Kali


Eksistensi putusan serta merta dalam perkara gugatan sederhana memiliki legitimasi hukum yang sah karena tidak diatur untuk dilarang secara eksplisit dalam PERMA GS. Sebab, Pasal 32 PERMA GS sebagai dasar hukum penerapan putusan serta merta pada perkara gugatan sederhana dengan catatan hakim harus tetap memperhatikan Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) RBg junctis SEMA Nomor 3 Tahun 2000, SEMA Nomor 4 Tahun 2001.

Dalam upaya percepatan penanganan perkara dan peningkatan rasio produktivitas penyelesaian perkara dalam bidang hukum perdata, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 juncto Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (PERMA GS) atau dalam sistem hukum Common Law dikenal dengan istilah Small Claims Court. Penerbitan PERMA tersebut mengandung pembaruan terhadap sistem hukum acara perdata di Indonesia yang sebelumnya hanya diatur oleh hukum peninggalan Hindia Belanda berupa HIR, RBg, dan Rv.

Salah satu aturan hukum acara perdata yang secara khusus berlaku dalam penyelesaian perkara melalui mekanisme gugatan sederhana adalah tidak dapat diajukannya tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau kesimpulan. Hal demikian berimplikasi pada penyederhanaan proses beracara dalam gugatan sederhana yang hanya menyisakan pembacaan gugatan, jawaban gugatan, pembuktian, dan putusan akhir. Selain itu, penyelesaian perkara melalui mekanisme gugatan sederhana harus diselesaikan paling lama 25 hari kerja sejak hari sidang pertama.

Dalam hukum acara perdata di Indonesia, prinsip umum yang berlaku adalah bahwa suatu putusan pengadilan baru dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum tetap atau dikenal dengan istilah inkracht van gewijsde. Namun, terdapat pengecualian penting terhadap prinsip ini yaitu melalui mekanisme Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij Voorraad). Putusan serta merta adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap, bahkan meskipun terhadap putusan itu diajukan upaya hukum.

Kewenangan hakim untuk menjatuhkan putusan serta merta diatur dalam Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) RBg yang dilengkapi dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij Voorraad) dan Provisionil serta SEMA Nomor 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij Voorraad) dan Provisionil.

Mahkamah Agung memberikan petunjuk bahwa penjatuhan putusan serta merta haruslah memenuhi salah satu dari syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Gugatan didasarkan pada bukti surat autentik atau surat tulisan tangan (handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut undang-undang tidak mempunyai kekuatan bukti;
  2. Gugatan tentang hutang-piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;
  3. Gugatan tentang sewa menyewa tanah, rumah, gudang, dan lain-lain, di mana hubungan sewa menyewa sudah habis/lampau, atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang beriktikad baik;
  4. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap;
  5. Dikabulkannya gugatan provisionil, dengan pertimbangan agar hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv;
  6. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan;
  7. Pokok sengketa mengenai bezitsrecht.

Selain itu, diperlukan adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata di kemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama.

Dalam PERMA GS, tidak dibahas secara spesifik pengaturan mengenai keberadaan tuntutan serta merta ataupun putusan serta merta. Salah satu hal yang diatur untuk dilarang eksistensinya adalah diajukannya tuntutan provisi, yaitu suatu permintaan tindakan sementara yang dimintakan oleh penggugat kepada hakim karena mendesak dan bersifat serta merta.

Meskipun secara sekilas terdapat kemiripan antara tuntutan provisi dan tuntutan serta merta yaitu jenis tuntutan dalam hukum acara perdata yang sama-sama memungkinkan suatu putusan dapat dilaksanakan atau dieksekusi terlebih dahulu walaupun putusan pokok perkaranya belum berkekuatan hukum tetap, namun kedua hal tersebut sejatinya berbeda.

Perbedaan utamanya terletak pada materinya, di mana untuk tuntutan provisi materinya bukan atau tidak menyangkut pokok perkara, ia berdiri sendiri sebagai suatu tuntutan yang bersifat insidentil yang dapat berupa larangan melanjutkan suatu kegiatan. Misalnya, melarang tergugat meneruskan pembangunan di atas tanah yang sedang menjadi objek sengketa. Sedangkan untuk tuntutan serta merta, materinya berkenaan dan menyangkut pokok perkara yang bersifat memerintahkan agar putusan pokok perkara dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun masih tersedia upaya hukum dan sekalipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Misalnya, apabila petitum penggugat yang memohon agar tergugat mengosongkan bangunan objek sengketa secara serta merta dikabulkan oleh hakim, maka putusan tersebut dapat dimintakan permohonan eksekusi secara langsung kendati tergugat mengajukan upaya hukum dan putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap.  

Pasal 32 PERMA GS menyatakan secara eksplisit bahwa "Ketentuan hukum acara perdata tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung ini". Interpretasi yuridis terhadap pasal ini sangat fundamental dalam menentukan ruang lingkup penerapan hukum acara perdata umum dalam konteks perkara gugatan sederhana.

Makna utama dari ketentuan a quo adalah bahwa PERMA GS berfungsi sebagai lex specialis derogat legi generalis (aturan khusus mengesampingkan aturan umum) hanya sejauh apabila terdapat pengaturan spesifik yang berbeda. Namun, jika terdapat aspek hukum acara perdata yang tidak diatur secara khusus dalam PERMA GS, maka ketentuan hukum acara perdata umum (seperti HIR, RBg, dan Rv) secara otomatis berlaku sebagai lex generalis yang mengisi kekosongan hukum tersebut.

Jika bunyi pasal tersebut dianalisis menggunakan teori positivisme hukum yang memandang bahwa sumber utama hukum adalah peraturan perundang-undangan yang tertulis dan dibuat oleh lembaga negara berwenang yang menekankan pada pentingnya aspek kepastian hukum yaitu jelas, pasti, dan dapat diprediksi, serta ditinjau dari konsep kepastian hukum yang memandang bahwa rumusan norma hukum itu harus jelas dan tidak multitafsir. Dan dengan menggunakan bantuan interpretasi hukum berupa interpretasi restriktif yaitu metode penafsiran hukum yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna suatu ketentuan hukum, maka dapat diketahui pasal a quo bertindak sebagai "pintu masuk" atau clausula generalis yang memungkinkan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan umum hukum acara perdata untuk tetap relevan dan diterapkan dalam proses hukum acara perdata gugatan sederhana.

Hal ini menunjukkan PERMA GS tidak bermaksud untuk menciptakan sistem hukum acara yang sepenuhnya terpisah dari hukum acara perdata umum, melainkan sebagai penyederhanaan dan modifikasi untuk jenis perkara tertentu. Dengan demikian, jika suatu lembaga hukum acara, seperti putusan serta merta, tidak diatur secara spesifik dalam PERMA GS, namun juga tidak secara eksplisit dilarang atau dikecualikan, maka keberadaan Pasal 32 PERMA GS menjadi dasar bagi penerapannya, asalkan tidak bertentangan dengan semangat penyederhanaan dan efisiensi dari mekanisme gugatan sederhana itu sendiri.

Kesimpulannya, eksistensi putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) dalam perkara gugatan sederhana memiliki legitimasi hukum yang sah karena tidak diatur untuk dilarang secara eksplisit dalam PERMA GS. Sebab, Pasal 32 PERMA GS menjadi dasar hukum penerapan putusan serta merta pada perkara gugatan sederhana dengan catatan bahwa hakim harus tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) RBg junctis SEMA Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij Voorraad) dan Provisionil dan SEMA Nomor 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij Voorraad) dan Provisionil.

*) Gerry Geovant Supranata Kaban, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri Wamena