img_head
ARTIKEL

Contante Justitie (Speedy Trial)

Jun28

Konten : artikel Hukum
Telah dibaca : 4.937 Kali


Oleh : Wahyu Iswantoro, S.H.

Acapkali kita mendengar pemeo yang mengatakan  “nestapa di balik jeruji, satu hari serasa satu tahun”. Begitulah kira-kira gambaran perasaan atau batin seorang tersangka/terdakwa yang harus dirampas kemerdekaannya di balik jeruji penjara/lapas/rutan.

Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana tentu dapat membayangkan betapa berat risiko yang harus dihadapi oleh terdakwa manakala dirinya menjalani masa penahanan, terlepas dari akhir pemeriksaan, apakah pada akhirnya dia dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi pidana penjara atau justru sebaliknya ternyata dinyatakan bebas ataupun lepas dari segala tuntutan hukum. Hukum acara pidana memang harus menjatuhkan nestapa bagi pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana. Namun demikian, dalam tahap pemeriksaan sidang di pengadilan, hakim terikat dengan asas contante justitie/speedy trial sehingga ia dituntut untuk senantiasa melaksanakan proses persidangan secara cepat, tepat dan teliti.

Asas  contante justitie berasal dari bahasa Belanda yang memiliki arti keadilan diberikan secara kontan. Postulat tersebut juga dapat dimaknai bahwa proses penegakan hukum dan keadilan harus dilaksanakan dengan cepat/kontan. Sementara itu dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan speedy trial atau peradilan dilaksanakan secara cepat. Andi Hamzah, (2006:11) mengatakan jika asas peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim), merupakan bagian hak-hak asasi manusia.

Postulat tentang peradilan cepat sebenarnya sudah dikenal sejak periode akhir abad ke-17, tepatnya sejak 1791, pada saat Amandemen ke-6 Konstitusi Amerika Serikat (The Sixth Amendment of the U.S. Constitution). Ketika itu gagasan tentang speedy trial mulai dikemukakan oleh Kongres, yakni: “In all criminal prosecutions, the accused shall enjoy the right to a speedy and public trial…” (Dalam semua penuntutan pidana, terdakwa harus menikmati hak atas pengadilan yang cepat dan terbuka...). Bahkan, akhirnya diperkuat kembali dengan lahirnya The Speedy Trial Act of 1974 (Undang-undang tentang Peradilan Cepat Tahun 1974) yang bertujuan untuk: “augment the rights of the defendant and include protections for societal interests in having a criminal defendant’s trial begin on time”  (menambah hak-hak terdakwa dan termasuk perlindungan bagi kepentingan masyarakat agar persidangan pidana bagi terdakwa dimulai tepat waktu).

Dalam hukum positif kita, tepatnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak secara tegas diatur asas peradilan cepat, akan tetapi dalam pelbagai ketentuan pasal KUHAP banyak ditemui kata “segera” yang memiliki nuansa sejenis dengan makna yang terkandung dalam kata “cepat”. Asas peradilan cepat kemudian diatur secara tegas dan lebih jelas dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Kata “cepat” yang berada di antara frasa “sederhana” dan “biaya ringan” menjadi penekanan bahwa alur proses peradilan mengarah pada prinsip kerja yang efektif dan efisien dengan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Secara lebih teknis, sebagai upaya menjamin terwujudnya asas peradilan cepat contante justitie/speedy trial, Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan (SEMA 2/2014), yang menginstruksikan pengadilan untuk dapat menyelesaikan perkara pada tingkat pertama paling lambat 5 (lima) bulan dan pada tingkat banding paling lambat 3 (tiga) bulan. SEMA tersebut kemudian menjadi early warning system bagi para hakim, sehingga dalam menangani setiap perkaranya akan selalu mewujudkan proses persidangan yang cepat tanpa berlarut-larut lagi.

Lebih dari itu, dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik atau e-Court, yang setahun kemudian disempurnakan kembali dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, di dalamnya lahir sebuah terobosan mutakhir berupa fitur e-Litigation atau persidangan secara elektronik. Dengan hadirnya PERMA tersebut, maka MA secara tidak langsung terus memacu kinerja para hakim dan aparatur peradilannya agar dapat terus mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan bagi para pencari keadilan (justicia belen) maupun pengguna layanan pengadilan.

Dapat diambil benang merah, bahwa hakimlah yang memiliki peran paling strategis dalam mewujudkan asas peradilan cepat, sebab sebanyak apapun aturan hukum tertulis yang mengandung nilai dan moral serta cita-cita luhur untuk memanusiakan manusia, semuanya tidaklah akan memiliki arti jika tidak ditegakkan dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya oleh hakim itu sendiri. Sebagaimana old maxim yang terkenal dalam dunia penegakan hukum dan keadilan, yakni justice delayed is justice denied.

*Hakim Pengadilan Negeri Wamena, Papua